Saya pernah salah kaprah tentang organisasi.
Dulu saya kira organisasi itu tempat paling aman untuk menyembunyikan ketidakmampuan. Tempat nyaman untuk ikut-ikutan sibuk tanpa hasil. Ternyata saya keliru. Dan keliru saya itu saya bayar mahal,dengan waktu yang terbuang dan kemampuan yang tak berkembang.
Saya ingat betul seorang tokoh tua di kampung pernah bilang :
“Kalau kau tidak bisa kerja, masuklah organisasi. Setidaknya bisa dapat nama.”
Saat itu saya manggut-manggut. Ternyata, nasihat itu adalah jebakan paling halus yang bisa menjerumuskan anak muda menjadi aktivis sibuk, sibuk tapi bukan produktif. Sibuk tapi tak menghasilkan nilai. Sibuk hanya agar terlihat penting.
Saya pernah jadi orang sibuk itu. Tiap hari datang ke sekretariat, ikut rapat, tanda tangan absen, bikin notulen. Tapi tak ada perubahan. Tak ada ide baru. Tak ada tantangan yang saya taklukkan. Sampai satu titik saya sadar, organisasi yang saya kira tempat mengabdi, ternyata cuma jadi tempat saya bersembunyi dari realitas.
Organisasi yang sehat itu bukan ruang tunggu. Bukan pula tempat menumpuk popularitas. Organisasi itu sekolah. Bahkan, lebih keras dari sekolah. Di sana, kita belajar disiplin, belajar ditolak, belajar berbeda pendapat tanpa bermusuhan. Di organisasi, kita diajarkan satu nilai yang sangat mahal: integritas.
Sayangnya, terlalu banyak organisasi sekarang diisi oleh orang-orang yang sekadar ingin “punya posisi”. Jabatan jadi tujuan, bukan alat. Padahal, jabatan itu seperti helm, melindungi kepala dari benturan tugas, bukan jadi pajangan di lemari prestise.
Di organisasi tempat saya pernah terlibat,baik organisasi pemuda, media, hingga sosial, kemasyarakatanselalu ada dua jenis manusia :
Orang yang bekerja diam-diam tapi hasilnya tampak.
Orang yang sibuk bersuara, tapi nihil karya.
Yang pertama itu langka. Yang kedua, banyak dan biasanya paling cepat naik jabatan. Tapi juga paling cepat dilupakan sejarah.
Saya belajar satu hal dari hidup ini.
Kalau mau tumbuh, tempatkan diri di lingkungan yang menantang.
Kalau ingin berkembang, jangan cari zona nyaman.
Dan kalau masuk organisasi, jangan cari ketenaran. Cari medan untuk diuji.
Organisasi itu bukan tempat selfie. Bukan tempat memburu validasi. Organisasi adalah ruang yang sempit, keras, penuh konflik ide, tapi justru di sanalah jiwa kita dibentuk.
Saya bertemu dengan seorang mantan aktivis yang sekarang menjadi pemimpin. Ia bilang, “Saya dulu sering disalahkan senior saya, karena hasil kerja saya dianggap salah. Tapi justru dari situ saya belajar mengakui kesalahan.”
Saya diam. Karena saya juga pernah disalahkan. Tapi waktu itu saya malah ngambek dan mengundurkan diri.
Saya terlalu cepat tersinggung.
Terlalu cepat menyerah.
Terlalu sibuk menjaga harga diri yang sebetulnya belum terbangun.
Kini, saya ingin menyampaikan ini pada anak-anak muda :
Kalau kamu hanya ingin tampil sibuk, jangan masuk organisasi.
Kalau kamu hanya ingin dikenal, bikin konten TikTok saja.
Tapi kalau kamu ingin ditempa, ingin tumbuh, ingin belajar mencintai perbedaan, maka masuklah organisasi. Bukan sebagai penonton. Tapi sebagai pemain. Sebagai pelaku. Sebagai pelayan.
Karena organisasi bukan rumah nyaman bagi orang yang pandai bicara tapi malas bekerja. Organisasi adalah kawah candradimuka bagi mereka yang siap menjadi manusia seutuhnya.
Dan itu tidak pernah mudah. Tapi selalu layak dijalani. (#)